Pesona Margawindu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Di Sumedang, pesona Margawindu ini sering disandingkan dengan perkebunan teh yang ada di Bandung, Subang, dan kota-kota lainnya. Margawindu memang sebuah kawasan kebun teh berlokasi di Desa Ditengah, Kecamatan Sumedang Selatan. Kebun teh ini dulu menjadi lahan usaha dari sebuah perusahaan teh besar yang dulu pernah bermukim di sini, yaitu PT Chakra. Perusahaan ini sendiri merupakan perusahaan produksi teh besar yang salah satunya berproduksi dj Ciwidey. Konon, luas kebun teh yang menjadi usaha perusahaan ini adalah 511 hektare.
Tahun 1997, terjadi pelepasan hak pengelolaan HGU dari PT Chakra ke PT BJA (Bukit Jonggol Asri). Pelepasan hak berdasarkan Keputusan Menteri Agraria No. 4-VIII-1997 tanggal 24 Januari 1997. Tahun 2013, PT BJA sempat melakukan penguasaan lahan perkebunan penggarapan teh Margawindu dengan para penggarap.
Namun hingga tahun ini, status BJA pun tidak jelas karena kini sudah tidak ada kegiatan usaha teh yang dikelola perusahaan. Adapun perkebunan teh yang dulu digarap warga, sebagian masih berproduksi, dipetik dan dikirim ke beberapa perusahaan teh di berbagai kota. Ada juga kebun teh yang dibiarkan terbengkalai, tidak berproduksi dan tidak menghasilkan apapun.
Dari hamparan luas perkebunan teh ini, sudah sedari dulu mempunyai kepemilikannya masing-masing. Kepemilikan ini bermula dan berawal dari hak penggarapan atas kebun teh. Jadi, ketika perusahaannya sudah tak lagi berada di situ, hak penggarapan lahan tetap melekat hingga menjadi sebuah hak kepemilikan lahan. Alhasil, petak kebun teh ini menjadi milik si A, petak kebun itu menjadi milik B. Kepemilikan ini terus menerus terjadi turun menurun di keluarga masing-masing. Kepemilikan ini pun sudah sama-sama diketahui oleh satu sama lain dan tidak pernah ada ada yang menggugat.
Kepemilikan lahan kebun teh ini selain milik warga penggarap yang bermukim di Kampung Cisoka, Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, sedikit banyak juga dimiliki oleh warga lain yang berada di luar Kampung Cisoka.
FYI, Kampung Cisoka adalah kampung tempat bermukimnya para penggarap teh di masa Hak Guna Usaha (HGU) – nya PT Chakra. Ada sekitar 20 KK yang kemudian beranak pinak dan tetap bermukim disitu. Dulunya, warga ini adalah warga Ciwidey yang hanya mengolah teh di Margawindu. Bertahun-tahun berada di lahan kebun teh, kini warga tersebut sudah menjadi warga Desa Citengah.
Beragam tanggapan, pendapat, dan sikap ditunjukan terhadap kepemilikan lahan hasil pengakuan sendiri ini. Pun bagi para warga setempat, aparat desa sampai para pejabat di lingkup pemerintahan kabupaten. Yang pasti, lahan-lahan kebun teh ini kini sudah berubah menjadi berbagai penampakan, seperti villa, kawasan wisata, warung-warung. Lahan-lahan ini ‘dijual’ oleh para pemiliknya kepada siapa saja yang berminat.
‘Penjualan’ lahan ini sudah berlangsung sejak lama, puluhan dan belasan tahun lalu. Apalagi mulai 2013, ketika sudah ada tak ada perusahaan yang berproduksi disini. Tapi rupanya, ‘penjualan’ ini pun bukan dimulai sejak waktu itu. Bahkan sejak ada perusahaan pun kerap terjadi, namun hanya untuk menjadi warung, kolam atau balong dan yang lainnya. Untuk sekedar mendirikan warung saja, dipastikan ada sedikit transaksi antar satu orang dengan orang lainnya. Hal ini juga sudah menjadi aktivitas yang biasa di tengah warga setempat.
Betapa tidak, lahan kebun teh yang terhampar luas memancafkan keindahan dan nilai wisata yang tinggi, membutuhkan aksen dan fasilitas lain agar warga yang berkunjung bisa nyaman. Setidaknya dereten warung di beberapa pojok kebun teh, pasti ada. Warung-warung ini berganti setiap masa, kepemilikan dan bentuknya. Atau beberapa pojok kebun teh, kadang berubah. Tahun ini ada warung, tahun depan tidak ada. Bisa jadi berganti kepemilikan atau yang nge-warung bangkrut dan tidak meneruskan usahanya.
Seiring waktu, pesona Margawindu kian menarik ketika Sumedang terus bergeliat menjadi kabupaten pariwisata. Tepatnya tahun 2019, Kabupaten Sumedang melabelkan diri sebagai Kabupaten Pariwisata. Margawindu pun ikut menggeliat. Pesona yang sudah puluhan tahun lalu terasa, kini bangkit kembali. Berbondong-bondong orang datang ke kawasan ini. Tapi bukan tanpa alasan, di kawasan ini kini berdiri banyak kawasan wisatawisata yang semakin menyedot perhatian orang-orang. Hamparan kebun teh kjni semakin indah dengan penataan lainnya seperti bungalow, cafe, resto, villa, kolam, dan masih banyak lagi.
Minat berusaha di kawasan ini ikut menuai banyak tanggapan, ada yang positif dan negatif. Positifnya adalah Desa Citengah menjadi lebih dikenal dengan menggeliat nya Margawindu. Tapi ternyata, negatifnya adalah, Desa Citengah sering dituding sebagai pelaku ‘jual beli’ lahan negara. Iyah, ratusan hektare kebun teh ini adalah milik negara yang di Hak Guna Usaha-kan ke perusahaan-perusahaan besar. Selepas tidak adanya HGU di kawasan ini, lahan akan kembali menjadi milik negara. Lahan negara tidak boleh diperjualbelikan, kecuali di HGU kan dan di Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada BUMN, BUMD, dan pemerintah kabupaten atau provinsi.
Dari berbagai sumber yang ada, pemerintahan desa setempat kun kerap berbeda pendapat atas lahan ini. Disebut-sebut sebagai pelaku jual beli lahan negara tentu tidak mau, karena telah melanggar peraturan perundang-undangan. Alhasil, kepada siapa saja yang mengisi atau menata lahan kebun teh ini menjadikan mereka sebagai pelanggar aturan pula. Nyatanya, para pengisi lahan ini hanya memanfaatkan kawasan ini untuk wisata. Meski pada kenyataannya, ada transaksi ‘jual beli’ lahan kabun teh dari penggarap ke pihak lain yang membutuhkan atau yang berminat usaha.
Sikap lain ditunjukkan oleh oleh beberapa orang dan warga setempat lainnya. Seperti, menata lahan kebun teh disini adalah hal wajar bagi warga setempat karena ditujukan untuk berusaha. Warga menjadi memiliki lahan pencaharian, berusaha, dan bekerja. Meski lahan ini bukan dibeli atau beralih ke warga setempat, namun warga dipastikan meraup pendapatan dari menggeliatnya wisata di kawasan kebun teh ini.
Lahan ini memang tidak boleh berubah selain menjadi kebun teh. Pohon-pohon teh tidak boleh ditebang, dibuang, dirusak. Tapi kalau ada satu atau dua pohon teh, yang tertebang, demi untuk menata beberapa bagian petak lahan ini, adalah tindakan wajar. Toh tujuannya bukan untuk membabad habis pohon teh ini. Penata kawasan atau boleh disebut juga pemilik baru lahan ini, juga paham, bahwa, pohon teh yang berderet-deret ini menjadi saya tarik pengunjung. Tidak mungkin juga sengaja membabad pohon teh, karena justru wisatawan membutuhkan pemandangan deretan, gunungan, dan hamparan pohon teh ini.
Dari sumber yang ada, setidaknya 500-an hektare lahan teh ini dimiliki atau diakui masing-masing oleh sekitar 100-an lebih warga. Baik warga yang sejak dulu sudah sebagai penggarap teh di masa perusahaan, ataupun warga dan pemilik lahan yang baru saja ‘membeli’ lahan ini.
Harga lahan ini, dari sumber yang ada’ juga bervariasi. Tergantung lokasi, siapa yang membeli dan untuk apa. Ada yang menjualnya seharga Rp. 500 ribu per petak (sekitar 20 meter persegi), ada yang menjualnya Rp. 1 juta dan harga lebih mahal biasanya diperuntukkan bagi peminat usaha cafe, resto, kawasan wisata. Atau tergantung siapa yang membelinya, apakah pejabat, konglomerat, pengusaha hingga petinggi pejabat lembaga negara.
Harga deal tergantung pada antara penjual dan pembeli. Tidak ada harga pasaran, tidak ada harga standar, dan tidak ada harga patokan apapun. Harga yang keluar pun, masing-masing menyerahkan kepada ‘penjualnya’.
Kamu berminat punya lahan di kawasan kebun teh Margawindu? Masih banyak kok yang available, yang ready, dan yang pasti jika punya modal besar, sangat cocok dikembangkan jadi kawasan wisata. Atau sekedar punya villa, saung, bungalow? Cocok syekali………
Malah, beberapa warga setempat sangat menyarankan untuk menata kawasan ini karena sedikit banyak warga setempat pasti jadi punya pemasukan, baik sekedar sebagai penunggu saung, tukang bersih-bersih, atau penjaga parkir dan masih banyak pekerjaan lain.
Terkait penawaran lahan di kawasan ini, dari sumber yang ada, pemerintahan setempat pun berbeda tanggapannya. Ada yang memprotes dan meminta tidak ada jual beli lahan tapi ada juga yang menawarkan dan membiarkan juga mendukungnya dengan alasan untuk kesejahteraan warga. Setidaknya, misalnya saja, dengan membuat warung di beberapa pojok kebun, maka akan ada tambahan penghasilan bagi warga. Menurut sumber, hal itu sangat wajar sekali. Daripada pemerintahan pun tidak mengelolanya, lebih baik ada penataan dari masyarakat yang secara tidak langsung akan memberikan mata pencaharian bagi warga setempat.
Pemerintahan desa setempat tidak mengambil keuntungan dan tidak mempunyai pemasukan dari aktivitas ‘jual beli’ lahan ini. Pemerintahan desa hanya bertanggung jawab memberikan sosialisasi terkait status lahan, bahwa lahan ini adalah lahan negara. Jika pun akan dijual, maka pemilik selanjutnya sudah tahu konsekuensinya. Lahan tetap milik negara dan harus bertanggungjawab jika suatu waktu diambil lahannya untuk status yang baru, misalnya ada perusahaan baru dengan HGU baru atau pihak lain dengan HPL-nya.
Sejauh ini, bertahun-tahun, menurut sumber, tidak pernah ada pemilik lahan yang keberatan dengan status lahan negara ini. Mereka sudah paham dan mengerti dengan konsekuensinya. Sumber pun tidak mengetahui kapan lahan ini jelas kepengelolannya. Yang diketahui pasti, lahan ini adalah lahan milik negara sampai waktu tiba saatnya ada kepastian lain lagi. Sumber sempat menyayangkan jika ada pihak yang membesar-besarkan aktivitas ‘jual beli’ lahan ini ketimbang memberi pembinaan bagi warga pengolah teh.
Sementara, mengenai status lahan negara ini, Pemkab Sumedang kini ternyata sedang mengupayakan mengajukan HPL. Dirangkum dari berbagai sumber, disebutkan ada delapan lahan negara yang terbengkalai yaitu tanah bekas (HGU) di Gunung Kareumbi, lahan bekas perkebunan teh di Margawindu atau Cisoka, lalu lahan bekas Sampora, dan sisanya masih dilakukan pendataan. Seluruhnya luas lahan tersebut adalah 200 hektare.
Kita coba sebutkan lagi lahan-lahan tersebut yaitu tanah bekas (Eks) hak guna usaha (HGU) Gunung Kareumbi di Desa Mekarahayu dan Desa Margamekar di Kecamatan Sumedang Selatan. Kemudian, tanah negara di Blok Pangupukan atau Pasir Cinta di pesisir Waduk Jatigede di Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja. Selanjutnya, lahan eks Sampora I di Desa Ciawitali, Kecamatan Buahdua.
Selanjutnya, tanah negara eks perkebunan teh Margawindu di Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan.
“Dari tanah negara di lima desa yang diusulkan, tiga lahan di tiga desa menjadi prioritas kami pada tahun 2020 ini,” ujar Herman Suryatman, Sekretaris Daerah Pemkab Sumedang. ( Kompas.com ; Selasa, 29/9/2020).
Lahan yang diprioritaskan adalah lahan hak pakai eks Kareumbi di Desa Mekarahayu; lahan negara di Blok Pangupukan, Desa Pakualam seluas 3, 3 hektar; dan lahan eks Kareumbi seluas 173 hektar.
Namun, hingga tahun 2022 ini, rupanya proses pengajuan HPL tersebut belum ada progresnya. (*)